Tag Archives: Bola
Penentu Karier Pesepakbola
Penentu Karier Pesepakbola – Menjadi pesepakbola merupakan cita-cita banyak orang. Ketenaran dan kekayaan pada umumnya menjadi tujuan akhir para pemilik mimpi sebagai pesepakbola. Tak ada hal yang lebih menyenangkan selain melakukan pekerjaan yang kita cintai dan dibayar dengan harga tinggi, salah satunya sepakbola.
Banyak para pemain yang memang mencintai olahraga ini hingga menjadikannya sarana untuk mengangkat derajat hidup.
Gaji besar dan ketenaran yang ditawarkan mungkin berbanding lurus dengan resiko yang harus dijalani oleh siapapun yang bermimpi ingin menjadi pemain sepakbola sukses, ayo streaming bola hari ini.
Bahkan resiko ini sudah dirasakan sejak pertama kali para pemain menjatuhkan pilihan hidup sebagai pesepakbola, yaitu hilangnya masa muda. Bayangkan jika mereka memulai menekuni sepakbola dari usia 10 tahun, artinya ada 2/3 dari hidupnya mengabdi bagi sepakbola.
Hal tersebut merupakan awal dan salah satu dari sekian resiko yang harus dijalani sebagai pesepakbola, karena setelah itu, mereka akan dihadapkan berbagai resiko yang kapanpun dapat merenggut karir sepakbolanya.
Cedera Sumber Malapetaka
Sepakbola merupakan olahraga fisik, sehingga benturan tak dapat dihindari, bahkan dengan resiko cedera parah sekalipun. Cedera adalah momok yang menakutkan bagi pesepakbola, mulai dari lecet ringan, hingga patah tulang.
Tak jarang pula banyak pesepakbola yang mengakhiri karier sepakbolanya atas alasan cedera, bahkan banyak pesepakbola yang harus mengubur impian menjadi pemain top karena cedera.
Nama-nama seperti Alexandre Pato dan Michael Owen merupakan talenta luar biasa, sayang, cedera panjang dan kambuhan membuat mereka gagal mencapai performa terbaiknya. Alexandre Pato dan Owen merupakan contoh bagaimana klub tidak diharapkan untuk memforsir pemain mudanya. Pato dan Owen sama-sama memulai karier profesionalnya di usia 17 tahun dan mereka langsung melakukan pertandingan reguler secara penuh.
Setelah memukau AC Milan lewat penampilan apik bersama Internacional, Pato bergabung ke San Siro. Pato langsung mengukir sukses di 4 musim awalnya bersama AC Milan. Dari musim 2007/2008 hingga 2010/2011, ia menjadi andalan Rossoneri dengan mencetak tidak kurang dari 50 gol dalam 102 penampilan. Artinya ia memainkan rata-rata 25-30 pertandingan semusim
Michael Owen lebih parah lagi, setelah memperkenalkan bakatnya kepada dunia lewat gol solo run ke gawang Argentina di Piala Dunia 1998, Owen menjalani setidaknya 40 pertandingan dalam semusim. Pada usia emasnya, mereka justru lebih akrab dengan meja operasi dibanding mengangkat trofi.
Bagi pemain remaja yang fisiknya sedang tumbuh dan belum optimal, ini memiliki resiko cedera yang besar. Tak heran jika kedua pemain ini meredup bahkan di usia emasnya.
Selain Pato dan Owen, ada nama-nama pemain yang harus gantung sepatu di usia emas akibat cedera yang berkepanjangan. Yang paling diingat adalah Marco van Basten, Sebastian Deisler dan Owen Hargreaves. Nama pertama adalah penyerang yang bisa saja menjadi yang terbaik di masanya. Tiga Ballon d`Or, satu gelar pemain terbaik FIFA dan 277 gol dari 373 kali berlaga menggambarkan betapa ganasnya van Basten. Sayang, cedera ankle yang ia alami di musim terakhir bersama Ajax sebelum bergabung dengan AC Milan tak kunjung hilang. Hingga akhirnya Marco van Basten mengakhiri perjalanan sebagai pemain sepakbola di usia 30 tahun.
Sebastian Deisler lebih muda lagi dalam mengakhiri karier sepakbolanya. Ia digadang-gadang akan menjadi sosok sentral di lini tengah timnas Jerman. Namun, ia harus mengakhiri karier sepakbolanya di usia 27 tahun. Keputusan yang sangat disayangkan itu diambilnya akibat cedera ligamen lutut berkepanjangan serta beberapa cedera lainnya. Selain faktor tersebut, ia juga terjerat depresi akibat kejadian yang menimpanya tersebut.
Nama terakhir adalah nama yang tak bisa dipisahkan dari kata cedera, yaitu Owen Hargreaves. Hargreaves mempesona saat kemunculannya di laga besar Semifinal Liga Champions 2001, kala berseragam Bayern Munich. Menggantikan peran sang Kapten, Stefan Effenberg, saat menghadapi Real Madrid, Hargreaves menunjukan performa yang luar biasa. Atas penampilan apiknya di laga semifinal, ia kembali bermain pada laga puncak menghadapi Valencia, laga yang berakhir manis dengan Bayern keluar sebagai juara.
Sayangnya, saat menginjak usia emas, Hargreaves yang pindah ke MU, mulai akrab dengan meja operasi. Ia menghabiskan 3 musim di MU hanya untuk memulihkan kondisi fisiknya.
Selama berseragam Man United, Hargreaves mengalami robek otot paha, robek otot betis, bermasalah pada otot aduktor (otot yang berpangkal di tulang panggul dan menempel di tulang paha), dan bermasalah dengan lututnya. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk gantung sepatu saat usia 31 tahun.
Cedera dan sepakbola mungkin ditakdirkan sepaket, sehingga para pemain harus hati-hati jika karier sepakbolanya dihancurkan oleh cedera.
Prediksi Man United vs Liverpool: Timpang di Salah Satu Sayap
Prediksi Man United vs Liverpool: Timpang di Salah Satu Sayap – Di antara semua derbi yang ada di Britania Raya, rivalitas Manchester United dan Liverpool bisa dibilang yang terbesar. Kedua kesebelasan memiliki jumlah gelar juara terbanyak di Inggris. Keduanya akan bertemu pada Minggu (24/02) malam di Old Trafford, Manchester.
Rivalitas Man United dan Liverpool, atau Northwest Derby, bukan hanya soal sepakbola. Kedua kota ini—Manchester dan Liverpool—sempat memperebutkan pelabuhan. Meski Liverpool dikenal sebagai kota pelabuhan, ada kanal penghubung ke Manchester. Liverpool sempat mematok harga masuk pelabuhan terlalu tinggi, sehingga Manchester membuat kanal sendiri menembus langsung ke laut.
Namun setelah 1982, ketika pelabuhan Manchester tutup karena tak sanggup mengakomodasi ukuran kargo yang semakin besar, persaingan sudah murni soal sepakbola, apalagi sejak masuk era Premier League (1992/93), ketika Liverpool tidak pernah menjadi juara kunjungi Agen Judi Bola Online Terpercaya.
Pada akhir pekan lalu Liverpool memang tak bermain di babak kelima Piala FA karena mereka sudah tersingkir terlebih dahulu di babak sebelumnya. Meski begitu Liverpool punya waktu istirahat yang lebih sedikit karena mereka bermain di tengah pekan lalu ketika imbang 0-0 melawan tamunya, Bayern München, di Liga Champions UEFA.
Dari rentang waktu gameweek 26 ke 27 sendiri, Man United bermain lebih banyak karena mereka bertanding di Piala FA (menang 2-0 melawan tuan rumah Chelsea) setelah kalah 0-2 di tengah pekan lalu (13/02) di Liga Champions melawan tamunya, Paris Saint-Germain.
Pada enam laga terakhir, Liverpool unggul dengan menang dua kali, sementara tiga laga berakhir imbang. Namun kemenangan terakhir Liverpool (3-1 di Desember) di Anfield membuat José Mourinho dipecat. Bedanya, akhir pekan ini pertandingan akan dimainkan di Old Trafford, serta manajer United juga sudah ole Gunnar Solskjær. Terakhir kali Liverpool menang di Old Trafford (3-0) terjadi sudah lama sekali, yaitu pada 16 Maret 2014.
Sama-sama Sedang Produktif dan Mengancam
Jika mengabaikan Liga Champions, kedua kesebelasan sedang sama-sama produktif. Dalam empat gameweek terakhir Liverpool mencetak 9 gol (terbaik ketiga), sementara Setan Merah mencetak 8 gol (terbaik keempat). Namun Man United lebih banyak menembak: 73 (terbanyak), banding Liverpool 60 (terbanyak keenam).
Mayoritas tembakan United juga dari mereka catatkan dari dalam kotak penalti, yaitu sebanyak 46 kali (terbanyak kedua). Artinya Man United lebih bisa menembus pertahanan lawan. Meski demikian, kedua kesebelasan sama-sama mencatatkan 27 shot on target (terbanyak kedua).
Dari data-data penyerangan ini, kita bisa berekspektasi jika pertandingan nanti menjanjikan banyak peluang. Apalagi Man United juga berhasil membuat peluang setiap 5,2 menit sekali, sementara Liverpool 6,4 menit sekali.
Beralih ke soal pertahanan, Liverpool sedang lebih banyak kebobolan dengan 5 kali, meski catatan tersebut masih tergolong sedikit (tersedikit ketujuh) jika dibandingkan dengan kesebelasan-kesebelasan lainnya di Liga Primer. Akan tetapi Man United hanya kebobolan 3 kali (tersedikit kedua).
Lalu apakah David De Gea tidak akan sibuk? Tidak juga. Meski kebobolan lebih sedikit, statistik menunjukkan United justru lebih sering menerima tembakan tepat sasaran, yaitu 16 kali (terbanyak ketujuh), berbanding Liverpool dengan hanya menerima 9 shot on targer (paling sedikit). Itu yang menjadi alasan kenapa De Gea lebih banyak melakukan save (14) daripada Alisson Becker (5).
Statistik lain juga menunjukkan jika Liverpool menjadi kesebelasan terbanyak ketiga soal tekel gagal (46) dari empat gameweek terakhir. Namun United lebih sering membuat error (3 dengan satu menjadi gol) di pertahanan mereka.
Waspada Set Piece dan Serangan Lewat Salah Satu Sayap
Kedua kesebelasan sama-sama baik dalam memanfaatkan situasi bola mati. United sedang sering membuat peluang lewat bola mati dengan 22 tembakan berhasil mereka hasilkan dengan diawali set piece, yang merupakan catatan terbanyak ketiga dari seluruh kesebelasan dalam empat gameweek terakhir.
Seolah berjodoh, Liverpool malah sedang banyak melakukan pelanggaran (44). Jadi The Reds harus berhati-hati, apalagi mereka juga banyak melakukan tekel gagal.
Namun soal bertahan dari set piece, United patut waspada juga. Liverpool banyak mendapatkan peluang dari sepak pojok (28; terbanyak kedua) dengan 32,1% sepak pojok berhasil sampai sasaran. Sasaran utama tentu saja Virgil van Dijk.
Sejauh ini United masih terlihat buruk mengantisipasi set piece. Mereka kecolongan 16 peluang dari situasi ini, yang merupakan angka terburuk keenam dari semua kesebelasan. Kemudian jika melihat cara United kebobolan pada laga melawan PSG, salah satunya juga berasal dari set piece berupa sepak pojok.
Salah satu yang disoroti pada laga ini adalah pada salah satu sayap, yaitu sayap yang ada Mohamed Salah-nya. Liverpool mencatatkan 46,9% peluang mereka dari sayap kanan (terbanyak kedua dari semua kesebelasan). Dalam empat gameweek terakhir, Salah lebih banyak beroperasi di sisi kanan penyerangan.
Begitu juga United lebih banyak menciptakan peluang dari sisi kiri penyerangan mereka, atau sisi kanan Liverpool, dengan 47,2% (terbanyak kedua). Dari data ini, diperkirakan pertarungan akan lebih timpang di sisi kiri Man United atau sisi kanan Liverpool.
Beberapa duel yang dinantikan adalah antara Luke Shaw dan Anthony Martial melawan Trent Alexander-Arnold dan Salah.
Prediksi
Baik Man United dan Liverpool sama-sama mengandalkan serangan balik. Bedanya pressing Liverpool lebih intens. Tak heran Liverpool sudah melakukan 75 bad touches (terburuk ketiga) karena skema semacam ini, jadi mereka harus berhati-hati karena bad touches akan membuat lawan mudah merebut bola dan melakukan counter-attack.
Paul Pogba masih menjadi pemain berbahaya dengan 17 tembakan (terbanyak) dan 5 peluang. Pogba memang bermain di tengah, namun jika dilihat dari rata-rata posisinya (heat map) sejak ditangani Solskjær, Pogba lebih banyak beraksi di sisi kiri United. Tak heran United lebih banyak menciptakan peluang dari kiri.
Jika peluang diperkirakan akan banyak, bagaimana dengan gol? Liverpool baru kebobolan 15 kali di liga (tersedikit). Pertahanan mereka mengalami peningkatan pesat dibandingkan musim-musim sebelumnya.
Namun salah satu kelemahan Liverpool adalah dalam menghadapi low cross. Setengah kebobolan mereka musim ini berasal dari situasi tersebut. Tak mengagetkan juga Van Dijk yang tinggi andal di duel udara, tapi kerepotan saat menghadapi bola melayang pendek yang cepat.
Berbicara tren, terutama jika mengerucutkan kepada Liga Primer, Man United sedang bagus-bagusnya. Melihat Liverpool sudah lama tak menang di Old Trafford juga, rasanya sulit melihat United bisa kalah akhir pekan ini.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa kedua kesebelasan sama-sama bagus ketika mempertahankan keunggulan. Jadi, siapa pun yang unggul duluan, bisa menjadi kuncinya. Bedanya United punya riwayat comeback yang lebih baik daripada Liverpool.
Teknologi Goalline: Badan pemberi referensi untuk meninjau kesalahan yang menyangkal Sheff Utd
Teknologi Goalline: Badan pemberi referensi untuk meninjau kesalahan yang menyangkal Sheff Utd – Professional Game Match Officials Limited (PGMOL) mengatakan wasit asisten video tidak melakukan intervensi karena keadaan “unik”.
PGMOL sekarang akan membahas bagaimana insiden serupa di masa depan dapat ditangani.
Itu terjadi ketika mantan wasit papan atas Mark Clattenburg mengatakan kontroversi itu menyoroti “cacat mendasar”.
Situasi ini terjadi pada menit ke-42 dari hasil imbang 0-0 pada hari Rabu – pertandingan Liga Premier pertama selama 100 hari, setelah kompetisi dihentikan oleh pandemi coronavirus pada bulan Maret.
Sheffield United – yang akan pindah ke atas Manchester United ke tempat kelima dengan kemenangan – mengira mereka telah mencetak gol ketika kiper Villa Orjan Nyland membawa tendangan bebas Oliver Norwood melewati garis. Namun wasit Michael Oliver tidak menerima sinyal untuk mengindikasikan gol. Info lengkap kunjungi agen judi bola
Hawk-Eye – operator teknologi goalline – kemudian meminta maaf tetapi mengatakan sistem “tetap berfungsi secara keseluruhan”.
Perusahaan menambahkan itu adalah pertama kalinya kesalahan seperti itu terjadi di lebih dari 9.000 pertandingan menggunakan sistem.
Namun, berbicara kepada BBC Sport, Clattenburg, mengatakan itu menunjukkan teknologi “bisa gagal kapan saja”.
Clattenburg, yang memimpin hampir 300 pertandingan Liga Primer antara 2004 dan 2017, selanjutnya disalahkan atas kegagalan sistem asisten wasit video.
“Saya secara otomatis saya berharap wasit asisten video masuk,” katanya.
“Dia mungkin berpikir: ‘Kami memiliki teknologi di sana. Mengapa kita perlu membuat keputusan?’ dan itu adalah kelemahan mendasar. Teknologi ada untuk membantu, tidak ada di sana untuk membuat keputusan akhir.
“VAR telah mengecewakan wasit Michael Oliver. Jika dia memeriksa gol, kita tidak akan membicarakannya sekarang. Wasit dapat membuat kesalahan; VAR tidak bisa, karena dia memiliki semua bukti di sana.
“Saya memiliki situasi di Liga Premier, di mana arloji akan berbunyi dan memberikan gol ketika bola tidak masuk ke gawang. Ini kadang-kadang bisa terjadi, di mana itu hanya kegagalan fungsi dan orang-orang tidak akan memperhatikan hal itu.
“Secara keseluruhan saya pikir itu [VAR] telah membiarkan wasit turun di Liga Premier. Liga Premier menghabiskan banyak uang untuk teknologi, tetapi jika itu tidak digunakan dengan benar, orang-orang kehilangan kepercayaan di dalamnya dan mereka menjadi frustrasi. Itu salah satu masalah terbesar saat ini.
“Sheffield United bisa kehilangan tempat di Eropa karena kehilangan dua poin karena teknologi.
“Ini tidak seperti keputusan wasit [normal]. Anda dapat mengatakan mereka menyeimbangkan lebih dari satu musim – tetapi tidak ketika Anda berbicara tentang sesuatu yang jelas-jelas salah.”